Sunday, January 20, 2019

Golput ?



Waktu aksi 411 saya hadir ditengah lautan massa. Sebetulnya saya tadinya hanya nonton dari fountain Cafe grand Hyatt. Sambil menikmati secangkir kopi bersama tamu saya dari luar negeri. Namun ketika mendengar kabar ada kerusuhan di Pluit dan Tanjung Priok. Saya teringat 15 menit lalu direksi saya etnis china pulang. Kebetulan dia tinggal di pluit. Saya segera telp dia. Teleponnya off. Saya sedikit kawatir. Bayangan saya dengan peristiwa Mey 1998. Apalagi barusan baca posting ada keributan di depan istana. Saya mengkawatirkan direksi saya. Cepat saya melangkah ke luar Cafe. Saya berjalan kaki dari grand Hyatt ke kawasan Pancuran patung kuda. Telp panggilan masuk. Saya lega. Ternyata direksi saya sedang di spa Center di kawasan Gajah Mada.

Memang saat itu suasana mencekam. Terdengar suara tembakan bomb asap. Orang berhamburan menjauhi arena demo. Kebanyakan ke arah jalan Budi kemuliaan, Tanah abang. Di masjid BI banyak massa berada di tangga. Wajah meraka nampak takut. Salah satu dari mereka yang berbaju gamis saya tanya mengapa dia ikut aksi ? Menurutnya dia dari pondok pesantren yang ada di Bogor. Dia engga tahu soal Ahok atau Anies. Yang dia tahu ada orang Kristen hina Al Quran. Dia ingin membela agamanya. Saya membayangkan betapa hebatnya provokasi agama. Orang menjadi militan tanpa peduli akal sehat. Tak ubahnya dengan paham totaliter seperti fasis dan komunis. Mengapa? Karena saya paham betul gerakan semacam ini. Saya bergaul dengan banyak aktifis.

Teman saya aktifis HTI dan PKS pernah berkata kepada saya bahwa lawan tersulit itu adalah PDIP. Mengapa sulit ? Karena PDIP adalah partai idiologi. Tidak akan pernah bisa digeser haluannya. Beda dengan partai lainnya yang cenderung pragmatis. Yang sangat pragmatis adalah PD dan Gerindra. Kedua partai itu orientasinya adalah kekuasaan. Hanya saja di PD kelompok Islam moderat lebih banyak. Itu engga nyaman bagi HTI namun bagi PKS itu Ok saja. Cara menghadapi PDIP adalah dengan mengurangi kepercayaan orang kepada demokrasi khususnya Pemilu. Caranya gunakan emosi militan kelompok minoritas yang kecewa akan kekalahan Ahok di Pilkada DKI. Yakinkan kepada mereka bahwa Jokowi dan PDIP lemah kepada mayoritas. Tidak mau membela kelompok minoritas. Kalau tidak mau pilih Prabowo lebih baik golput. Demikian strateginya.

Lewat sosmed emosi itu dibangun. Lewat aksi kolosal dibenturkan antara mayoritas dan minoritas. Kalau Jokowi keras. Dia akan dianggap memusuhi Islam. Kalau Jokowi lemah, dianggap tidak membela kelompok minoritas. Apapun sikap Jokowi keuntungan bagi HTI. Makanya keputusan kebebasan ABB itu sebetulnya yang menggoreng adalah HTI sendiri. Saya kenal teman DDB yang HTI. Dia komen dengan keras menuduh Jokowi tidak konsisten memerangi teror dan cenderung kepada Islam.

HTI sangat tahu bahwa Indonesia di tangan PS akan hancur. Makanya mereka berjuang menjadikan PS sebagai presiden. Kalau PS jadi presiden hanya masalah waktu ekonomi akan chaos. Saat itulah mayoritas umat Islam di giring tidak mempercayai demokrasi. Tidak mempercayai pemilu. Ganti system dengan khilafah. Khalifah berdiri yang pertama kali mereka habisi adalah para golputer yang terpapar kebencian kepada umat Islam. Cerdaslah saudaraku. Mari tetap focus membela orang baik agar Indonesia lebih baik.

No comments:

Menyikapi keputusan MK...

  Pasar bersikap bukan soal kemenangan prabowo -gibran. Tetapi bersikap atas proses keputusan yang dibuat oleh MK. Pasar itu jelas cerdas, l...